Aku pernah berdiri di depan pusara keagungan
Wanginya menjelma menjadi jutaan air mata yang tumpah
Mengenangnya...dalam do’a dan kerinduan...
Langit perlahan kelam lalu benderang
Ombak lautan sepi lalu ramai
Ranting ranting bergelantungan tak karuan
Gemuruh...
Suara cinta kemudian hadir di antara pertengahannya
Kemudian berimbas...menebas...kemudian terbang dengan bebas
Di sini telah tersambut lentera merdu pembawa risalah
Yang titiknya hampir-hampir tak ada
Sepanjang masa dan akhir zaman...
Dia akan tetap benderang
Hari ini dan seribu empat ratus tahun yang lalu
Bulir-bulir air mata sang perindu masih saja tumpah
Walau kini yang dirindukan telah berada di genggaman
Mata perindu merah lalu basah
Terjurus pada satu sosok
Yang sejatinya tak dapat terlukiskan
Benderangnya terlalu kilau
Menantang rindu yang makin menerawang
Rasul sahabatku...
Mengenangnya dalam kemauan
Yang tak kelam meruas pada alam
Dia lah pengibar nafas perjuangan sejati pembela Robbi
Acuan zaman yang makin edan
Walau kami terpisah jarak dan waktu
Sekian ribu tahun terdistorsi
Kemudian berbalik menjadi suatu ketakutan
Kala dia hilang menjemput pertemuan dengan Rabbnya
Ribuan, jutaan, bahkan milyaran, triliunan air mata masih saja mengalir setelah ribuan tahun lamanya
Mengeluarkan onak-onak duri dada
Atas sosok tercinta
Dalam angan khayal terpahat dalam pikiran
Sosok cahaya suci mengahampiri kami
Membelai kami...
Memeluk kami...
Dengan jubah putihnya yang bersih
Dia bantu kami berdiri
Bangkit...
Kemudian membisikkan sesuatu di telinga kotor kami...
“Ummatku...aku rindu padamu”
Ooh...angin menderu hebat
Bedesir...
Meraup kesukaan dunia menjatuh pada yang tepat
Daun gugur ombak kembali ramai
Getar cinta kami dan dia ikut menderu
Berdesir hebat......
Menimbulkan getaran cinta pada sang penyampai air mata
Pembawa lantunan ayat suci
Diberi wewenang tuk menyampaikan
Menjadi sebuah koleksi padu
Yang hampir-hampir tak merapuh
Dari waktu ke waktu
Pahatan cinta kasih berdesir kuat dalam diri
Menunggu tiupan sangkakala yang memekakkan telinga
Kami tak tahu apa dia palingkan wajah untuk kami
Menunggu syafaat cinta surga atau neraka
Darah sejati yang merembes dari tubuhya
Letupan peluh yang bersarang pada emosi batinnya
Telah lama memberontak
Hasil kemerdekaan telah tercapai
Tapi seolah tak ada yang peduli akan tumpah darahnya
Masa kekhalifahan menjadi saksi hidupnya
Kekuatan fakta dan realita yg menganalisis pada sejarah manusia
Keagungannya...kedermawananya...kesetian sejati pada Ilahi Rabbi
Mencetus kenikmatan surga pada garis hidupnya
Menjadi perjanjian tuhan yang akan terlaksanakan
Duhai Rasul...
Jika masih Kau teteskan air mata rindumu pada kami
Maka ajak kami menuju cinta hakiki untukmu
Atas pengidolaan kami selama ini pada berhala-berhala dunia
Yang menghambakan kami pada panasnya api neraka
Kobaran air mata Sang perindu kini masih merah dan basah
Cintanya kini membulat pada satu yang tepat
Hanya dia Sang Rabbi penganugerah cinta sejati
Dan utusanNya, Sang penyebar cinta yang murni
Shallu alan nabi....
Balikpapan, 27 Maret 2007, pukul 22.52
By: deazy “Jewelessens”
0 komentar:
Post a Comment